Pangeran Kornel ialah nama lain bagi Pangeran
Kusumadinata XI, bupati Sumedang tahun 1791-1828, Pangeran Kusumadinata
oleh Belanda diangkat
sebagai kolonel tituler. Istilah “kolonel” yang masih langka pada zaman itu,
berubah menjadi “kornel”. Nama “Pangeran Kornel” itu sendiri lebih terkenal di
masyarakat daripada namanya yang sebenarnya yaitu Asep Djamu (1761-1828),
kemudian selang 2 tahun lahirlah sepupunya dengan nama Asep Ema.
Pangeran Kusumadinata IX merupakan putra dari pasangan
Adipati Surianagara II (bupati Sumedang tahun 1761-1765) dan Nyi Mas Nagakasih.
Semasa kecilnya beliau dikenal dengan nama Raden Asep Djamu. Pada saat ayahnya
meninggal pada tahun 1765, diangkatlah bupati penyelang/sementara dikarenakan
Raden Asep Djamu yang masih balita belum bisa naik tahta menjadi Bupati
Sumedang. Baru pada tahun 1791, Raden Djamu alias Surianagara III diangkat
menjadi Bupati Sumedang dengan gelar Pangeran Kusumadinata IX (memerintah tahun
1791–1828).
Sumber : wikipedia
Cadas Pangeran. Nama ini begitu melekat di ingatan
masyarakat sebagai nama dari salah satu jalan raya yang terkenal angker. Cadas
Pangeran sendiri merupakan bagian dari jalan raya Bandung-Cirebon dan masuk
dalam jalur Jalan Raya Pos (Anyer-Panarukan) yang dibangun pada masa
pemerintahan Herman Willem Daendels. Saat itu, Daendels menjabat sebagai
Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Nama Cadas Pangeran sendiri muncul karena jalan raya
tersebut dibangun dengan cara memahat batuan gunung berupa bukit yang cadas dan
amat keras. Sumber lain menuturkan bahwa nama Cadas Pangeran merupakan
diambil dari peristiwa ‘pemberontakan’ Cadas
Pangeran.
Nama tersebut juga adalah cerminan dari sikap dan watak
keras alias cadas dari Bupati Sumedang saat itu, Pangeran Kusumadinata IX yang
juga dikenal sebagai Pangeran Kornel yang menyayangkan kekejaman dari Daendels
kepada rakyatnya.
Wajar saja bila sang pemimpin murka. Rakyatnya dikabarkan
banyak yang mati akibat pembangunan jalan raya sepanjang tiga kilometer yang
dibangun di tahun 1809 itu. Bukan lagi berjumlah puluhan, melainkan ratusan
bahkan ribuan pekerja paksa harus rela merenggang nyawa di sana.
Ada yang terjatuh, ada pula yang dimangsa oleh hewan buas
karena pada saat itu lokasi pembuatan jalan raya Cadas Pangeran masih
dikelilingi hutan. Alat yang digunakan para pekerja pun masih amat sangat
sederhana. Kabarnya, mereka hanya menggunakan linggis untuk memahat bebatuan
cadas tadi.
Karena itulah, Pangeran Kornel memberikan perlawanan keras
alias pemberontakan terhadap Herman Willem Daendels. Di kawasan jalan raya yang
curam dan berkelok ini terdapat patung yang berdiri kokoh. Patung tersebut
merupakan patung dari Pangeran Kornel yang menyalami sang Gubernur Jenderal
menggunakan tangan kiri. Sementara tangannya memegang keris pusaka.
Daendels tentu terkejut akan perlawanan yang dilakukan sang
Adipati untuk para rakyatnya. Pria yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal
Hindia Belanda sejak tahun 1808 ini berjanji pada Pangeran Kornel bahwa dirinya
akan mengganti pekerja paksa dari kalangan rakyat Sumedang dengan tentara Zeni
Belanda untuk melakukan pembangunan jalan. Sementara rakyat Sumedang ditugaskan
sebagai pekerja cadangan.
Namun, hal tersebut hanyalah tipu muslihat dari Daendels
saja. Ia malah membawa banyak tentara Belanda yang ditugaskan untuk melawan dan
menghabisi Pangeran Kornel beserta rakyat yang memberontak. Akibat
ketidaksiapan dan kekurangan senjata, pasukan sang Pangeran berhasil
dilumpuhkan oleh Daendels dan para serdadu Belanda.
Trisula Sebagai Penyangga
Menurut sang kuncen atau juru kunci dari jalan raya Cadas
Pangeran, jalan raya yang banyak dilalui kendaraan besar maupun kecil tersebut
bisa tetap berdiri dengan kokoh di lereng pegunungan karena adanya senjata
berupa trisula yang digunakan sebagai penyangga. Trisula tersebut ‘disusupi’
oleh tiga wujud makhluk halus berupa siluman ular, kera dan harimau.
Konon katanya, bila ada orang yang angkuh atau sombong dan tak mempercayai keberadaan mereka, maka orang tersebut akan didatangi secara langsung oleh sang makhluk tak kasat mata. Tentu, tak semua orang percaya akan hal ini dan ada pula yang menganggapnya sebagai mitos belaka. Namun, bagi masyarakat setempat dan sang juru kunci, tentu hal ini tampaknya bukan sekadar isapan jempol saja.
Sumber : bacaterus.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar