A story written by Putri Sintya
Taera & Jeffano
—
Taera's POV
Saat guntur mulai bergemuruh di balik gumpalan awan kelabu, aku segera menutup buku yang hampir menyita perhatianku lebih dari satu setengah jam. Kemudian menyimpannya kembali ke dalam rak kayu sebelum aku bergegas keluar.
Ah... Aku lupa dengan payungku. Hampir saja.
Aku kembali setelah dua langkah di luar gedung, untuk mengambil payungku yang tersimpan di sudut ruangan, warnanya kuning menyala. Dari jauh saja sudah terlihat amat mencolok, kadang aku malu jika harus memakainya di musim panas. Warnanya akan dua kali lebih terang. Lalu, apa aku hanya punya satu payung di rumah? Bagaimana dengan membeli yang baru?
Tidak, aku tidak bisa. Payung itu kesayangan. Dari ibuku yang tinggal di kampung halaman. Mana mungkin aku biarkan begitu saja.
Ketika pintu terbuka, bel akan berbunyi. Aku tidak mengerti, kenapa mereka harus memasang bel di perpustakaan. Setelah mendapatkan payungku kembali, aku tergesa pergi keluar dan mulai menembus tirai hujan yang mendadak lebih deras.
Oh tidak, buku di dalam tasku bisa saja basah! Aku baru membelinya dengan sisa uang bulanan.
Sampai di halte bis, Tuhan sepertinya mendengar doa yang kurapalkan bersama suara gemeletuk gigi di dalam mulutku. Sungguh, tapi hari ini benar-benar dingin. Dari prakiraan cuaca di ponselku saja suhunya turun sampai 12° celcius. Aku tidak tahu seberapa akurat, tapi uap yang keluar dari mulutku membuktikannya.
Bis nomor tujuanku datang begitu aku sampai di halte, hari ini aku beruntung. Setidaknya, sejauh ini.
Sebelum aku sadar, payungku tertinggal lagi.
Di halte bis.
***
Aku melangkah besar-besar melewati genangan yang kiranya satu meter di atas lapangan basket.
Splash!
Aku sudah tidak peduli dengan air hujan yang seenaknya mengguyur tubuhku, lagi pula tetesnya sudah tidak lebat lagi, hanya menyisakan gerimis kecil.
Splash!
Soal buku baruku, ah tidak masalah, aku membungkusnya dengan kresek, sementara di tanganku sudah ada segelas Latte hangat. Roti bagel yang seharusnya aku makan bersamaan, dimasukkan ke dalam tas. Sungguh hari yang paling absurd di sepanjang minggu.
Splash!
Oh, percikan air itu bukan dariku.
Aku melihat sepasang pantofel hitam di atas genangan lain, di depanku.
Netraku bergulir dari bawah ke atas, menelisik apa—siapa yang kini berada di depanku. Dari sepatu mengkilap basah, celana kain abu panjang, belt hitam, serta kemeja putih, dan ah...
... wajah yang rupawan.
Mataku membelalak dan tak diam begitu kami bersitatap. Susah payah aku mengangkat kembali wajahku yang —entah untuk alasan apa— merona hebat.
Ada dua hal yang menarik perhatianku padanya.
Pertama, wajahnya, tentu.
Kedua, payungnya.
Itu warna yang sama dengan warna payungku. Kuning lemon, atau kau bisa membayangkan warna kuning stabilo. Nyaris sama.
Detik berlalu, menjadi menit yang hanya diisi riak hujan dan hening yang panjang. Namun tiba-tiba lamunku pecah ketika tangan itu terulur kepadaku.
"Kau meninggalkannya di halte bis." lelaki itu berkata.
Aku terpana, untuk kedua kalinya. Suaranya melantun indah. Aku bahkan bisa mendengar getar halusnya di balik rintik hujan.
"Ah, terima kasih."
Tanganku terulur, mengambil alih gagang payung yang terasa hangat bekas genggamnya.
"Maaf merepotkan, sekali lagi terima kasih banyak."
Dia hanya tersenyum. Sungguh, ciptaan sang Maha Kuasa yang sempurna. Bahkan cacat di kedua pipinya terlihat bak karya seni ternama. Indah, bukan main.
"Namaku Jeffano." dia berkata.
Aku mengerjap. Kemudian menjabat tangannya.
"Lentera, panggil saja Taera."
Selama gerimis turun menjadi rintik air yang begitu ringan, kami sudah duduk di pinggir lapangan. Berbicara ini itu, apa saja yang kiranya bisa mengusir rasa canggung.
"Sering ke Aley?" dia bertanya.
Aku mengangguk, "Setiap hari Rabu dan Sabtu."
Kami sudah tidak seformal tadi. Obrolan ini menjadi lebih fleksibel begitu kami membicarakan buku dan Aley.
"Kalau begitu, kita bisa bertemu di Aley, kapan-kapan."
Lelaki tinggi itu tersenyum, lalu mengangguk satu kali.
Ah... dia sangat manis, Tuhan.
"Kapan kau pergi ke Aley? Pulang kuliah?"
Kali ini dia menggeleng. "Aku pemilik Aley."
Mulutku membulat, aku dapat mendengar gelaknya yang tertahan.
"Kenapa tidak bilang!"
Dia tertawa.
"Aku cukup sering melihatmu di Aley, duduk di dekat rak buku novel." katanya.
"Iya, aku suka novel."
"Tapi, akhir-akhir ini aku jadi terlalu sering melihatmu."
Aku mengernyit, apa itu buruk? Seolah paham dengan maksud kerutan di keningku, ia pun cepat berkata.
"Karena aku memang ingin melihatmu."
Aku terdiam.
Apa katanya? Melihatku?
"Apa maksudmu?"
"Aku hafal dengan payung ini."
Dia mengambil payung yang bersandar pada kursi kayu, kemudian membukanya. Entah itu gemuruh di atas langit atau di balik tulang rusukku. Aku terbuai sepenuhnya, rasanya begitu luar biasa.
"Aku ingin mengenalmu, Lentera."
Sore itu, langit kelabu menjadi saksi bisu. Gemuruhnya seolah mengolok dua insan yang tengah berteduh.
Jeffano... aku menyukainya.
.
.
.
SELESAI
Jangan lupa untuk memberikan sebuah review berupa komentar!
Terima kasih sudah membaca.
The story were so nice! Romantis dan pas buat di musim hujan. Keep on writing! You did a great job, good luck!
BalasHapusHello, terima kasih!
HapusKereeennn, baper akunya
BalasHapustysm <3
HapusAaaaa, pengen jadi lenteraaaa 😭
BalasHapusSoon to be Lentera irl >,< tysm ubi!
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSo romantic, you did a great job! And the name of the characters are so beautiful... Wait for the next story
BalasHapusTysm lovely!
Hapus