Sejarah Masjid Agung Sumedang
Seperti kebanyakan masjid Agung di daerah lainnya, Masjid Agung Sumedang berada di dekat Alun-alun. Tepatnya di sebelah barat Alun-alun Sumedang. Masjid Agung Sumedang merupakan salah satu masjid yang cukup lama berdiri di Kabupaten Sumedang. Menurut cerita yang beredar secara lisan, Masjid Agung Sumedang dibangun sejak tahun 1850 Masehi.
Manurut cerita tersebut, pembangunan Masjid Agung Sumedang
tidak lepas dari peran serta etnis Tionghoa yang datang ke Sumedang. Etnis
Tionghoa yang pada waktu itu baru datang ke wilayang Sumedang ikut serta dalam
pembangunan Masjid Agung ini. Pembangunan Masjid ini sendiri merupakan gagasan
dari bupati Sumedang, Pangeran Sugih atau Pangeran Soeria Koesoemah Adinata
yang menjabat dari tahun 1836 sampai tahun 1882.
Karena adanya peran serta Etnis Tionghoa, bentuk bangunan
Masjidnya dipengaruhi oleh budaya Tionghoa. Sehingga ada perpaduan antara
arsitektur Islam dengan arsitektur Tionghoa. Hal ini bisa dilihat dari bentuk
atap Masjid yang bersusun tiga, mirip bangunan pagoda, kelenteng atau vihara.
Atapnya disusun makin ke atas makin kecil. Tingkatan paling atas berbentuk
limas yang disebut mamale. Di bagian bagian puncaknya bertengger sebuah benda
yang disebut mustaka. Bentuknya menyerupai mahkota raja-raja di masa lampau. Sampai
saat ini, walau telah mengalami renovasi pada tahun 2004 yang menelan biaya Rp
4,2 milyar, bentuk bangunanannya tidak banyak berubah.
Sementara, bentuk mimbarnya sangat antik dan dibiarkan
berdiri dalam bentuk aslinya, dengan empat tiang yang dicat keemasan dan
bangunan kecil dengan atap limas. Tempat khatib berdiri dibuat dengan empat
trap sebagai tangga dan tempat duduknya seperti singgasana kerajaan. Untuk
tombak yang suka dipegang oleh muraqi dan khatib masih utuh terbuat dari kayu
jati dan berumur satu abad lebih (sekitar 120 tahun).
Ciri khas yang paling menonjol pada bangunan Masjid Agung
Sumedang adalah banyaknya tiang penyangga. Tiang penyangga ini hanya dibuat
dari susunan bata yang dibulatkan dengan ukuran besar. Terdapat 166 tiang, yang
terdiri atas tiang utama bagian dalam sebanyak 14 buah dengan diameter 100 cm
dan tiang utama bagian luar sebanyak 106 buah dengan diameter 60 cm.
Dilihat dan segi artistik, tiang-tiang tersebut jadi ciri
khas kearsitekan masjid kuno dan antik bergaya abad ke-19.
Bagian atas kusen pintu dan jendelanya penuh dengan hiasan
ukiran kayu yang konon menorehkan citra ukiran model Cina. Pada bagian mimbar
juga terdapat sebuah properti yang penuh dengan ukiran bergaya Cina.
Pada bangunan bagian dalam terdapat ventilasi berupa jendela
dan pintu yang berbeda ventilasi dengan bangunan modern, sedangkan emperan
depan dan pinggir tidak memakai dinding atau tembok.
Jumlah jendela di bangunan dalam terdapat 20 buah dengan
tinggi empat meter dan lebar satu setengah meter, terbuat dari kayu jati dengan
jumlah pintu utama sebanyak tiga buah.
Sumber : simas.kemenag.go.id
Di bagian dalam masjid terdapat bangunan seperti singgasana
raja, dimana tempat berteduhnya sang raja yang berlokasi di bagian imam atau
mihrab. Di beberapa sudut bangunan terdapat ukiran-ukiran bertulisdkan huruf
Arab yang sarat akan makna sejarah
Keunikan lain dari masjid agung Sumedang ini, yakni situs
bernama lingga. Dahulunya, lingga digunakan sebagai tempat untuk menyimpan
aneka persenjataan perang, seperti tombang, pedang, keris, dan tameng.
Situs ini bertuliskan bahasa sansekerta yang berisi amanah
bagi manusia untuk saling menjaga dan melindungi satu sama lainnya.
Persenjataan perang yang sengaja diletakan di dekat masjid
ini dimaksudkan untuk mempermudah prajurit jika secara mendadak harus membawa
senjata padahal mereka dalam keadaan salat, kkarena khawatir serangan musuh.
H. Endang Hasanudin, Ketua DKM Masjid Agung Sumedang
menuturkan, masjid ini termasuk masjid bersejarah. Masjid sendiri bernuansa
China. Sementara itu sejarah dari kubahnya sendiri itu disebut mastaka atau
yang biasa disebut dengan mahkota.
“Masjid pertama di Sumedang ini sengaja dibangun di
tengah-tengah Alun-alun Sumedang, di sebelah kanan masjid dulunya merupakan
lokasi kerajaan Sumedang yang kini menjadi Gedung Bupati dan Museum,” katanya
kepada Notif di Sumedang, Senin 13 Mei 2019.
Sejak dahulu pula, di bagian depan masjid ada lembaga
pemasyarakatan.
“Suara azan dari masjid dimaksudkan untuk mengingatkan para
tahanan untuk hidup di jalan yang benar setelah keluar dari penjara,” kata dia.
Masjid Agung Sumedang pun menjadi kebanggan dan warisan
budaya yang terus dijaga dengan baik oleh masyarakat Sumedang.
Sumber : notif.id
Potret Masjid Agung Sumedang dari masa ke masa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar